Kisah "Laskar Pelangi" dalam Hidupku
22 Februari 2008 | | 3 komentar |Dalam sepenggal kisah “Laskar Pelangi” yang diceritakan oleh Andrea, tokoh Lintang dalam novel tersebut menggambarkan kisah dan nasibnya sangatlah mirip dengan yang dialami oleh temanku Pyus. Lintang yang masih duduk di bangku SMP Muhammadiyah Belitong, yang mempunyai tingkat kecerdasan yang sangat luar biasa dibandingkan anak-anak seumurnya dan dapat mengalahkan seorang doktor muda yang sangat sombong, mempunyai berbagai prestasi dalam dunia pendidikan. Tiap hari dia rela berangkat subuh-subuh dengan sepeda butut menuju sekolahnya yang berjarak sangat jauh puluhan kilometer hanya untuk menimba ilmu setinggi-tingginya di sekolah bobrok yang nasibnya mengenaskan. Kemudian saat tinggal selangkah lagi menamatkan sekolah tingkat smpnya, dia tertimpa musibah menyedihkan sekaligus menamatkan karir pendidikannya. Ayah Lintang meninggal dunia yang memaksa Lintang harus menggantikan posisi ayahnya yang sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah untuk ibu dan saudara-saudaranya yang ditinggal oleh ayahnya, karena Lintang adalah anak pertama dikeluarganya.
Sedangkan kisah temanku yang bernama Pyus ini tidak kalah menyedihkan, dia termasuk murid yang cerdas dan disegani teman-temannya di kelas maupun guru-gurunya. Rangkingnya selalu masuk 3 besar, dan aku selalu tidak dapat mengalahkanya. Dari kelas 1 sampai 3 sma, nilai rapornya selalu meningkat dan akan mendapatkan kesempatan masuk ke perguruan tinggi negeri tanpa harus melalui ujian UMPTN atau disebut PBUD(Pencarian Bibit Unggul Daerah).
Tetapi saat kelas 3 caturwulan ke-2, bisnis koran yang dirintis ayahnya mendapatkan masalah finansial dan mendapatkan kerugian yang cukup besar, tidak hanya itu motor kesayangannya yang selalu dipakai pulang-pergi ke sekolah pun raib kena tipu kenalannya. Alhasil dia harus ikut mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena dia anak pertama dari 2 saudara. Hal ini membuat dia sering nunggak membayar SPP, meskipun sudah dimaklumi oleh guru-guru dan juga kepala sekolahnya tetap saja membebankan pikirannya dan tidak dapat konsentrasi dalam belajarnya. Karena kejadian-kejadian itu mengakibatkan Pyus kesulitan dalam menempuh pendidikannya dan hal itu membuat nilai rapornya merosot tajam sehingga menggagalkan untuk mendapatkan tiket PBUD.
Tidak hanya itu, dia juga gagal masuk perguruan tinggi manapun karena semua universitas meminta biaya tambahan entah itu disebut dana pembangunan ataupun sumbangan suka rela. Dia jelas tidak mampu untuk membiayai pendidikannya tersebut, untuk biaya makan sehari-hari saja susahnya minta ampun.
Teman-temannya termasuk aku tidak ada yang dapat membantunya kecuali hanya dukungan moril dan doa saja. Saat itu aku merasa iba melihat kepandaiannya menjadi sia-sia hanya karena imbas masalah ekonomi kehidupan keluarganya. Rasanya aku ingin memberikan bangku kuliahku untuknya, karena aku tahu dia jauh lebih pintar dan cerdas dari pada aku yang harus menguras otak setiap kali memperoleh soal-soal hitungan yang rumit, sedangkan dia hanya melihat dan corat-coret sedikit saja langsung menemukan jawaban pastinya, hanya nasibku sedikit lebih beruntung dibanding dia. Saat dia masuk sma, badannya gemuk dan wajahnya terlihat sangat ceria, tetapi kini sangat berbeda tubuhnya jauh lebih kurus sekitar 30% dibanding semula meskipun tidak sekurus orang-orang yang kurang makan, dan raut mukanya terlihat menyedihkan. Sekarang dia bekerja di sebuah gudang pabrik obat kata temanku
Sungguh ironis memang bangsa dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia ini, di negara lain (yang sama-sama berkembang) sudah berlomba-lomba meningkatkan mutu pendidikannya dan pemerintahannya pun terjun langsung menanganinya. Sedangkan disini yang ditingkatkan kesejahteraannya justru para pejabat dan dewan rakyat yang dengan tidak tahu malu mengaku telah mensejahterakan pendidikan rakyat padahal hanya dinikmati sendiri. Mungkin masih banyak kisah-kisah senada di bumi nusantara ini, dan akan berulang-ulang di kemudian hari.